Ayat Keempat:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Penguasa (pemilik) hari pembalasan”
“مَالِكِ”
Qirâ’ah (cara membaca) kata ini ada beberapa macam, di antaranya: mâlik serta malik. Keduanya sama-sama sahih dan mutawâtir[1], juga diriwayatkan dari Nabi shallallahu’alaihiwasallam[2]. Sehingga tidak masalah jika sesekali kita membaca dengan bacaan pertama dan di lain kesempatan dengan bacaan kedua[3].
Makna mâlik adalah pemilik, sedangkan makna malik adalah raja[4]. Kedua makna ini sama-sama ada pada diri Allah jalla wa ‘ala. Penyebutan Allah sebagai Raja hari pembalasan mengisyaratkan bahwa di sana akan ditegakkan keadilan. Sedangkan penyebutan-Nya sebagai pemilik hari tersebut; mengisyaratkan bahwa pembalasan akan dilakukan dengan benar sesuai dengan cara yang telah ditentukan[5].
Penggabungan antara dua makna tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan Allah ‘azza wa jalla adalah hakiki. Sebab ada di antara para makhluk yang menjadi raja, namun ia bukanlah sang pemilik kerajaannya. Dia hanyalah orang yang berlabel raja, tapi pada hakikatnya kekuasaan tidak di tangannya. Begitu pula ada di antara para manusia yang menjadi pemilik sesuatu, namun bukan seorang raja, sebagaimana kondisi kebanyakan orang. Adapun Rabb kita maka adalah Raja dan Pemilik[6].
“يَوْمِ الدِّينِ”
Ad-dîn dalam ayat ini bermakna pembalasan atau pengganjaran amalan[7]. Jadi yaumid dîn artinya adalah: hari pembalasan, yakni hari kiamat[8].
Ya, hari kiamat merupakan waktu pembalasan, sebagaimana dunia merupakan waktu untuk beramal. Ali bin Abi Thalib menasehatkan,
ارْتَحَلَتْ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً وَارْتَحَلَتْ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ وَلَا تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا؛ فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلَا حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَل
“Dunia berjalan meninggalkan kita dan akhirat berjalan menghampiri kita. Masing-masing memiliki anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Hari ini adalah waktu beramal bukan pembalasan, dan kelak adalah hari pembalasan dan tidak ada kesempatan untuk beramal”.[9]
Hal ini mestinya memotivasi kita untuk memperbanyak amal shalih di dunia, agar kelak di akhirat kita bisa memetik buah manis dari amalan tersebut. Sebab jika kita telah memasuki hari itu, kesempatan untuk beramal telah tertutup rapat. Walaupun kita merintih, menghiba, memohon pada Allah untuk diberi kesempatan melakukan shalat satu raka’at atau berdzikir satu kata, guna menambah timbangan amal kebajikan, tidak mungkin akan dikabulkan. Semoga kita tidak termasuk golongan yang tenggelam dalam penyesalan di hari kiamat kelak, amien…
- · Mengapa dalam ayat ini Allah disebutkan khusus sebagai penguasa hari pembalasan?
Sebagaimana telah maklum bahwa Allah adalah penguasa dunia maupun akhirat, sekarang maupun kelak. Namun kenapa dalam ayat ini Allah jalla wa ‘ala mengkhususkan diri-Nya sebagai penguasa hari kiamat?
Para ahli tafsir menjelaskan[10], memang di dunia ini ada penguasa-penguasa selain Allah, namun kekuasaan para makhluk di hari kiamat semuanya musnah, sampaipun mereka yang dahulunya ketika di dunia adalah para raja, presiden atau penguasa apapun juga. Tidak ada kekuasaan kecuali di tangan Allah, sebagaimana firman-Nya,
يَوْمَ هُم بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ، لِّمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
Artinya: “Hari ketika mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman), “Milik siapakah kekuasaan pada hari ini?”. Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”. QS. Ghafir / al-Mukmin: 16.
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
يَقْبِضُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: “أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوكُ الْأَرْضِ؟
“Pada hari kiamat, Allah tabaraka wa ta’ala menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Lalu ia berfirman, “Akulah Raja, di manakah para raja bumi?”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Jangankan untuk menjadi penguasa, hanya untuk berbicara pun mereka tidak bisa, kecuali dengan izin Allah jalla wa ‘ala.
يَوْمَ يَأْتِ لاَ تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ
Artinya: “Ketika hari itu datang, tidak seorang pun yang berbicara, kecuali dengan izin-Nya. Di antara mereka ada yang sengsara dan ada yang berbahagia”. QS. Hud: 105.
Kenyataan ini mestinya memberikan pelajaran berharga bagi umat manusia, terutama bagi mereka yang di dunia mendapat amanat kekuasaan. Hendaklah mereka tidak sewenang-wenang mempergunakan kekuasaannya. Kekuasaan yang mereka miliki hanyalah ‘titipan’ dari Allah ‘azza wa jalla dan bersifat semu. Kekuasaan yang mutlak dan hakiki hanyalah milik Allah jalla wa ‘ala. Jadikanlah kekuasaan tersebut sebagai sarana untuk menggapai keridhaan-Nya bukan wahana yang akan menghantarkan pada kehinaan dan kesengsaraan di alam sana.
Artikel www.tunasilmu.com
[1] Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (I/133), ad-Durr al-Mashûn (I/48) dan at-Tahrîr wa at-Tanwîr (I/175).
[2] Lihat: Jâmi’ at-Tirmidzy (hal. 642 no. 2927, 2928).
[3] Cermati: Ad-Durr al-Mashûn (I/49).
[4] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (I/150) dan ad-Durr al-Mashûn (I/48).
[5] Lihat: At-Tahrîr wa at-Tanwîr (I/174).
[6] Lihat: Tafsîr al-Qurthuby (I/217) dan Tafsîr Juz ‘Amma (hal. 16).
[7] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (I/157).
[8] Lihat: At-Tahrîr wa at-Tanwîr (I/176).
[9] Disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya.
[10] Lihat: Tafsîr al-Baghawy (I/53) dan Tafsîr al-Qurthuby (I/220).